Langsung ke konten utama

Cerita Dongeng Manggarai Timur, Mbo' Ete

MBO’ ETE


            Teringat sepotong dongeng (tombo nengon) masa kecil yang sangat menarik tentang Mbo’ Ete (Nenek Ete). Terjemahan dalam bahasa Indonesianya kira-kira seperti berikut:
“Pada zaman dahulu hiduplah seorang nenek bernama Ete (Mbo’ Ete). Ia hidup sendirian dan hanya ditemani dua ekor anjing[1] kesayangannya. Pada suatu hari ia mendapat undangan dari Mbunga dan Ndilan untuk mengikuti acara ‘rebo’ anak’ mereka (pemberian nama seorang anak) yang juga merupakan cucunya. Mbunga dan Ndilan tinggal di langit. Konon, kala itu jarak antara langit dan bumi masih sangat dekat. Buktinya sampai sekarang ‘betong’ (pohon bambu) melengkungkan pucuknya ke bawah karena tidak bisa lagi bertumbuh ke atas. ‘Doong le langit’ (pertumbuhannya tertahan oleh langit). Langit dan bumi hanya dihubungkan oleh ‘wase azo’’ (sejenis pohon bertali di hutan). Sampai pada hari yang ditentukan, pergilah Mbo’ Ete ke lagit ditemani kedua ekor anjingnya. Mereka berjalan melalui wase azo’ menuju tempat tinggal Mbunga dan Ndilan di langit.
            Mbuga dan Ndilan sangat bahagia menyambut kedatangan Mbo’ Ete, begitu pula dengan Mbo’ Ete. Ia sangat bahagia melihat cucunya lahir dengan selamat dan sehat. Keesokan harinya diadakanlah acara rebo tersebut yang dihadiri oleh semua warga kampung. Layaknya sebuah upacara syukuran, mereka sangat bersuka cita. Banyak binatang peliharaan yang disembelih untuk menu makanan hari itu.   Ada daging ayam, daging anjing, daging kambing untuk ‘anak rona’ (keluarga dari pihak Ndilan) dan daging babi untuk ‘anak wina’ (keluarga pihak Mbunga). Mbo Ete bebas memilih menu apa saja karena ia tidak termasuk dalam kedua kategori tersebut. Ia terhitung sebagai ase kae.
            Setelah acara rebo’ selesai pada sore harinya, bergegaslah Mbo’ Ete untuk kembali ke bumi. Mbunga dan Ndilan menyediakan oleh-oleh untuk Mbo’ Ete berupa beberapa bungkus nasi dan daging ayam yang sudah dimasak sebagai bekal. Mbuga dan Ndilan berpesan kepada Mbo’ Ete: ‘Mbo’, o’o bokong dite. Maik mo ghan wone regha salan reba. Jaga pakor asu, supung toko.” (Nek, ini oleh-oleh dari kami. Tetapi nenek tidak boleh makan di tengah perjalanan, nanti anjing-anjingnya berkelahi merebut tulang ayam sisa makanan nenek). Mbo’ Ete mengiakannya lalu pamit pulang.
            Sesampai     di tengah jalan, Mbo’ Ete merasa capai dan sangat lapar. Ia berhenti sejenak untuk melepas lelah. Ia sangat lapar hingga perutnya sampai keroncongan. Tanpa berpikir panjang Mbo’ Ete langsung membuka isi keranjangnya (beka) dan mengambil buti’ (tempat untuk menyimpan makanan terbuat dari anyaman daun pandan/re’a) yang berisi oleh-oleh dari langit. Ia lalu segera menghabiskan makanan itu dan seperti biasanya membuang sisa tulang ayam untuk dua ekor anjingnya. Lantas kedua anjing itu pun melompat merebut tulang-tulang ayam  yang dibuang Mbo’ Ete hingga terjadilah perkelahian yang sangat sengit antara kedua anjing tersebut. Makin lama perkelahian tersebut semakin sengit dan Mbo’ Ete tak berdaya untuk melerainya. Hingga tanpa disadari oleh Mbo’ Ete salah satu anjingnya menggigit wase azo’ penghubung langit dan bumi sampai terputus. ‘Buk!’ saat tali tersebut putus, terpisahlah langit dan bumi. Langit begitu jauh ke atas dan bumi begitu jauh di bawah. Mbo’ Ete, Mbunga, dan terlebih lagi Ndilan menjadi sangat sedih karena kejadian tersebut. Mbo’ Ete tidak bisa lagi ke langit mengunjungi anak dan cucunya. Akirn itu kaut ga (begitulah akhirnya).”
            Sungguh suatu ceritera yang sangat menarik dan mengandung banyak makna. Melihat isi dan tujuan ceriteranya, mungkin dongeng ini diceriterakan untuk memberikan pengajaran moral bagi anak-anak. Namun, di sini kami mencoba melihatnya secara lain. Sebutlah melihat makna dongeng Mbo’ Ete ini dalam kerangka polemik soal letak ibukota Kecamatan Elar Selatan. Wacana pemekaran kecamatan Elar Selatan telah lama bergulir dalam masyarakat bahkan jauh sebelum pengesahan Kabupaten Manggarai Timur. Sebagai salah satu akibat logis dari itu, muncul juga wacana mengenai letak ibu kotanya. Ada yang menyebut Wukir, ada juga yang menyebut Mamba dengan berbagai alasan dan pertimbangan logis masing-masing. Setelah Kabupaten Manggarai Timur sah berpisah dari Kabupaten Manggarai wacana ini menjadi semakin nyata. Perbedaan pendapat mengenai letak ibukota pun semakin meningkat. Masing-masing pihak mau mempertahankan pendapat dengan pertimbangan-pertimbangannya. Boleh dikatakan bahwa hal ini merupakan salah satu bentuk tanggapan yang baik dari masyarakat Elar Selatan atas kebijakan pemerintah, tetapi persoalannya apakah tanggapan berupa polemik ini mendukung kemajuan Elar Selatan?
            Kembali pada pesan dongeng sederhana di atas. Sikap “ceroboh”, tidak sabar, dan tanpa pertimbangan matang yang ditunjukkan oleh tokoh Mbo’ Ete kiranya memberikan pesan yang cukup jelas. Tanpa berpikir panjang ia telah melakukan apa yang sebenarnya tidak perlu dan tidak boleh ia lakukan di tengah jalan. Akibatnya jelas, terjadilah malapetaka tak diinginkan yang berujung penderitaan. Wase azo’, tali penghubung langit dan bumi terputus. Langit semakin menjauh ke atas, bumi semakin menjauh ke bawah. Tidak ada persatuan. Tidak ada lagi hubungan mesrah antara Mbo’ Ete dan anak cucunya di langit. Mbo’ Ete semakin merasa sendirian, demikianpun Mbunga dan Ndilan hingga terus mewaris kepada anak-anak mereka. Jalan yang menyatukan mereka telah putus dan yang ada hanyalah air mata penyesalan.
            Polemik letak ibu kota Kecamatan Elar Selatan ibarat sikap “tanpa berpikir panjang” yang dibuat oleh Mbo’ Ete. Suatu sikap yang kiranya tidak perlu dilebih-lebihkan. Ada ketidaksatuan pendapat antara kelompok yang mendukung Mamba sebagai ibukota dan kelompok yang mendukung Wukir. Pertanyaannya adalah apakah sikap pro dan kontra ini merupakan sesuatu yang sangat mendasar untuk menyambut baik kebijakan pemerintah tentang pemekaran Kecamatan Elar? Sepertinya tidak. Kenyataan ini bisa membawa akibat yang kurang baik untuk perkembangan Elar Selatan ke depan. Keadaan masyarakat yang terpecah-pecah akan mudah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang mungkin mempunyai kepentingan tersembunyi. Akibat lain juga, ketika kedua belah pihak tetap mempertahankan pendapatnya, ada kemungkinan terjadinya praktik manipolitik untuk meloloskan kepentingan masing-masing. Semua ini tentu akan berakibat buruk dan bisa dikatakan sebagai langkah awal yang kurang baik.
            Menemukan solusi yang tepat untuk masalah ini tentu bukanlah hal yang mudah. Ada sebuah tawaran prosedur yang kirannya berguna untuk mencapai sebuah kesepahaman. Berangkat dari sebuah dasar teori rasionalitas komunikatif; bahwa dalam pengalaman komunikasi sehari-hari setiap orang pasti terarah kepada pencapaian kesalingpahaman. Satu pihak akan berusaha agar orang mengerti apa yang ia sampaikan, begitu pula sebaliknya. Kecenderungan atau warisan kebiasaan komunikasi ini bisa digunakan atau menjadi dasar keyakinan dalam proses pencapaian kesepakatan dalam hidup bersama. Dengan pengandaian (suatu klaim kesahihan) bahwa semua pihak terbuka untuk mendengarkan yang lain dan juga berani mengemukakan pendapatnya secara jujur dan tanpa tekanan. Semua pihak juga hendaknya menjadi bebas dari kepentingan-kepentingan tersembunyi, selain dari pada kepentingan untuk mencapai kesalingpahaman itu sendiri. Jika semua pengandaian ini bisa dipraktikkan barulah dicari argumen atau pendapat yang terbaik. Dengan menemukan pendapat yang terbaik semua pihak akan mampu menerimanya sebagai sebuah kesepakatan yang legitim.
            Tawaran ini mungkin terlihat sangat mengawang-awang, terlalu ideal, dan sangat normatif. Kenyataannya ada begitu banyak kepentingan yang tidak mungkin bisa dipersatukan. Benar, tetapi sesungguhnya bahwa benih-benih rasionalitas komunikatif ini telah ada dalam kehidupan masyarakat kita. Ada tradisi musyawara, lonto leok, atau seleka paan olo igur musi yang telah lama tertanam sebagai tradisi. Tradisi ini tidak boleh ditinggalkan sebagai warisan masa lalu yang usang, tetapi hendaknya menjadi benih pemersatu yang terus diperkaya dengan masukan-masukan dari pemikiran moderen. Dengan itu kita bisa menghasilkan sesuatu yang bisa kita tunjukkan kepada pemerintah sebagai modal atau langkah awal yang pasti untuk kemajuan Elar Selatan. Modal utama itu adalah persatuan.
            ‘Betong’ dalam dongeng di atas merupakan simbolisasi ketertutupan. Meskipun ia telah mendapatkan kebebasan ia tetap tidak menyadari kebebasan itu. Pikirannya masih tetap terarah ke bawah. Padahal kesempatan luas untuk bertumbuh terpampang di atasnya. Ia tidak berani memandang ke atas. Tidak berani bertumbuh. Kecamatan Elar Selatan masih memiliki banyak harapan dan kesempatan berkembang dalam kemajuan. Elar Selatan bukanlah ‘betong’ yang pandangannya selalu terarah ke bawah.



[1] Berkaitan dengan nama anjing, biasanya digunakan nama anjing yang dipelihara atau pernah ada di mana dongeng ini diceriterakan. Sebut saja misalnya, Ranga dan Sekel.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MAWAR DAN ROSARIO

MAWAR MERAH dan ROSARIO 1.    Pengantar Dalam riwayat hidup St. Montfort kita mengetahui bahwa sejak usia kanak-kanaknya ia sangat mencintai doa rosario. Dalam salah satu kisah, diceritakan bahwa ia menjadi rasul Bunda Maria bagi saudara-saudari dan teman-teman sepermainannya. Ia sering mengajar dan mengajak mereka berdoa rosario. Seorang adiknya yang bernama Guyonne-Jeanne pernah merasa bosan berdoa rosario bersamanya, saat itulah ia berkata kepada adiknya: “Kalau kamu berdoa rosario kamu akan menjadi cantik sekali.” Dari kisah ini kita dapat melihat dengan jelas keintiman relasi Montfort dengan Rosario. Dalam buku Rahasia Rosario St. Montfort mengulas banyak hal tentang Rosario. Dalam penjelasan-penjelasan yang disampaikan Montfort, ia menjelaskan Rosario dengan analogi bunga mawar. Tulisan kecil ini mencoba mendalami bagaimana penjelasan St. Montfort dalam judul Mawar Merah. Kita akan mulai dengan melihat sesuatu di luar teks tentang bunga mawar dalam sejarah. L...

Makna ikon dalam Gereja Katolik

KEAGUNGAN TUHAN DALAM IKON Pengantar             Manusia adalah makhluk berbudaya. Manusia mengekspresikan dirinya melalui kebudayaan yang ia miliki. Demikian pula halnya dalam pengungkapan imannya. Manusia mengungkapkan imannya juga dalam kebudayaannya. Iman pertama-tama memang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhan. Tetapi manusia hidup bersama orang lain di tengah masyarakat. Hidup sosialnya turut menentukan hidup imannya. “Allah menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya”(LG 9). [1] Boleh dikatakan bahwa manusia menjawab wahyu Tuhan dengan sosialitasnya, dengan kebudayaannya, dan dengan kemampuannya. Salah satu produk kebudayaan manusia adalah seni. Manusia mengekspresikan imannya melalui kesenian yang diciptakannya. Gereja katolik tidak bisa terpisahkan dari seni. Hal itu tampak dalam bangunan (seni lukis, seni pahat, dan seni ukirnya), lagu-lagu atau musik ger...