Langsung ke konten utama

Legitimasi hukum Jurgen Habermas


LEGITIMITAS HUKUM: Tantangan Demokrasi Indonesia
Abstrak
Negara Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi telah memasuki usia yang tidak muda lagi. Bentuk demokrasi yang dipraktikan dalam kehidupan berbangsa dan negara ini telah mengalami beberapa kali bongkar parang. Hingga saat ini Indonesia tengah memasuki dan entah rampai kapan sedang melalui sebuah bentuk demokrasi yang disebut sebagai demokrasi peralihan. Berawal dari masa reformasi pasca kejatuhan rezim otoriter Suharto, telah terjadi banyak perubahan dalam tubuh demokrasi Indonesia. Salah satu perubahan yang paling mendasar dan berpengaruh cukup kuat adalah perubahan sistem perpolitikan. Sistem yang dimaksudkan di sini adalah sistem multipartai. Partai  politik di Indonesia yang sebelumnya hanya terdiri dari beberapa partai yang menjamin kelanggengan pemerintahan orde baru, sekarang telah berubah menjadi sistem multi partai. Perubahan sistem ini bukan tanpa efek. Salah satu pengaruh negatif yang menjadi fokus tulisan kecil ini aadalah soal lemahnya hukum dalam sistem multipartai. Tidak seperti masa orde baru, perbedaan visi, misi, dan kepentingan masing-masing partai akan berujung pada pembentukan undang-undang (hukum) yang tidak legitim. Hukum yang tidak legitim ini akan mengancam demokrasi yang sedang berjalan. Landasan teori yang digunakan untuk melihat persoalan ini adalah konsep proseduralisme Hukum dari Habermas, seorang filsuf dan sosiolog Jerman. Teori proseduralisme hukum ini sekaligus juga menjadi tawaran solusi atas tantangan demokrasi Indonesia.

Pengantar
            Indonesia adalah negara yang dibentuk atas dasar keragaman suku, budaya, bahasa, agama dan kepercayaan. Dari segi geografis Indonesia juga terdiri dari begitu banyak kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke. Tetapi kenyataan kemajemukan ini telah disatukan sejak pendirian negara Indonesia pada masa kemerdekaan. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 menyatukan keragaman ini menjadi sebuah negara yang bersatu dalam keragaman (Bhineka Tunggal Ika). Para pendiri  negara Indonesia (Founding Fathers) telah menyadari dan menemukan suatu tali pengikat yang mampu menyatukan dan mengikat keragaman bangsa Indonesia ke dalam satu ikatan Negara Republik Indonesia. Suatu hal yang menarik bahwa apa yang kita nikmati sebagai bentuk demokrasi saat ini ternyata telah melalui perdebatan dan konsensus dari para pendiri negara ini. Ada perdebatan antara dua pendapat yang berbeda dalam Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) tentang undang-undang dasar yang mau ditetapkan bagi Indonesia merdeka. Perdebatan itu adalah tentang bagimana mengatur kehidupan bersama bangsa Indonesia yang majemuk. Adalah Sukarno dan Supomo yang berpendapat bahwa hak-hak dasar demokratis tidak perlu dijamin oleh undang-undang dasar dengan alasan bahwa negara Indonesia adalah negara berkedaulatan rakyat bukan kedaulatan individu. Di lain pihak Hatta dan Muhammad Yamin sangat mendukung dimasukkannya hak-hak dasar demokratis ini ke dalam undang-undang untuk mencegah timbulnya negara kekuasaan. Usulan itupun akhirnya dimasukkan ke dalam pasal 28 UUD 45.[1]Buah nyata dari konsensus ini adalah sampai saat ini negara Indonesia tetap menjadi sebuah negara dedemokrasi.
            Demokrasi Indonesia tidak berjalan stabil dan tetap. Ada dinamika dan perkembangan yang terjadi seiring berjalannya waktu dan kemajuan zaman. Hingga saat ini Indonesia setidaknya telah melewati beberapa tahap demokrasi yang tidak lepas dari sejarah perjalanan negara ini selama lebih dari setengah abad. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing dari setiap tahap yang dilalui ini. Meski telah berjalan selama lebih dari setengah abad, orang masih menyebut demokrasi Indonesia sebagai demokrasi transisi. Sebagai bagian dari perjalanan sejarah demokrasi kita tentunya memiliki prestasi dan kegagalan yang kiranya menjadi penting sebagai bahan evaluasi perjalanan bangsa Indonesia.Apa yang menjadi penting pada evaluasi tersebut adalah tidak hanya melihat keberhasilan dan kegagalannya, tetapi merupakan sebuah penilaian yang komprehensif atas praktik demokrasi Indonesia. Bahwa di dalam keberhasilan atau prestasi yang mungkin saja kita bangga-banggakan ternyata juga terkandung suatu masalah baru yang justru merusak atau menghambat cita-cita demokrasi itu sendiri. Bahwa di samping begitu banyak kemandekan dan masalah yang meliliti demokrasi Indonesia masih ada lagi kemajuan-kemajuan yang disalahgunakan atau disalahpraktikkan dalam demokrasi Indonesia.
            Hingga saat ini demokrasi Indonesia yang sedang dalam masa transisi telah menunjukkan banyak kemajuan. Kemajuan-kemajuan itu setidaknya tampak dalam beberapa hal, antara lain: sistem multipartai dalam pemilu, pemilihan presiden, wakil presiden dan wakil rakyat yang dilakukan secara langsung oleh rakyat, dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Mahkamah Konstitusi, dan masih banyak prestasi lainnya. Kemajuan-kemajuan atau prestasiini jika dilihat secara sepintas memang akan tampak sebagai unsur-unsur yang menyokong semakin nyatanya sistem demokrasi yang ideal. Namun sayangnya, dalam kenyataannya praktik penyelenggaraan unsur-unsur kemajuan tersebut masih jauh dari yang diharapkan. Fakta-fakta seperti mafia hukum, makelar kasus, korupsi dalam tubuh KPK atau kepolisian sendiri sebagai badan pelaksana hukum misalnya, sungguh memberikan gambaran yang jelas bahwa tenyata kemajuan yang kita alami belum diimbangi dengan praktik yang seimbang. Kemajuan yang terjadi akhirnya menjadi diragukan. Jangan-jangan kemajuan yang kita banggakan hanyalah kemajuan di atas kertas, bukan kemajuan sesungguhnya dalam praktik.
            Tulisan kecil ini secara khusus akan berusaha mengupas bagaimana pengaruh atau efek dari “kemajuan”, atau lebih tepatnya semakin dijunjungtingginya nilai kebebasan pasca-orde baru, terhadap legitimitas hukum yang ada di Indonesia. Ditengarai bahwa sistem multipartai, sebagai salah satu pengejawantahan nilai kebebasan berpikir dan berpendapat, yang memungkinkan begitu banyak partai dengan berbagai latar belakang, tentu akan menjadi suatu ajang persaingan untuk merebut pengaruh. Akibat lanjut dari perebutan pengaruh tersebut adalah suara yang dibawa ke gedung legislatif sebagai wadah pertemuan dari berbagai fraksi paratai yang menang dalam pemilu. Masalahnya adalah apakah fraksi-fraksi partai tersebut benar-benar mewakili suara rakyat secara keseluruhan atau hanya mewakili suara rakyat pendukung partainya. Lebih para lagi jika suara yang diwakili adalah kepentingan interen partai tersebut. Donny Garhal Adian membahasakannya demikian: “Politik adalah pertarungan kekuatan antarkelompok dengan ideologi, orientasi, dan nilai berbeda. Hukumpun tidak seimpersonal yang dibayangkan positivisme hukum. Hukum adalah buah kemenangan politik satu kelompok tertentu melalui prosedur yang bisa saja demokratis.”[2]Di sini jelas terlihat bahwa legitimitas hukum sangat lemah.Kelemahan tersebut tidak tampak secara gamblang, tetapi tersembunyi di balik kemulusan proseduralisme yang tampak sangat baik.
            Ketika legitimitas hukum lemah, satu pertanyaan yang muncul adalah mau di bawa ke mana sistem demokrsi kita. apakah sistem perpolitikan kita benar-benar demokratis? Melalui tulisan kecil ini kami mencoba menanggapi persoalan legitimitas hukum Indonesia dalam kerangka berpikir proseduralisme hukum dari Jürgen Habermas. Filsuf dan sosiolog Jerman yang amat tersohor ini menawarkan suatu jalan keluar ampuh yang bisa langsung memecahkan persoalan ini. Tetapi  tingkat keampuhan pemikiran sang penerus mazhab Frankfurt ini tetap ditentukan oleh kemampuan bangsa kita menerima dan menerapkan pemikirannya. Ia hanya menawarkan sebuah ide prosedural yang sangat normatif. Gagal atau berhasilnya teori tersebut bergantung kepada pelaku yang menerapkan teori tersebut. Atas dasar rasionalitas komunikatif yang menjadi dasar pemikirannya Habermas meyakini bahwa hukum yang legitim masih dapat dicapai asalkan melewati prosedur-prosedur dan syarat-sayarat komunikatif yang baik.
            Adapun tulisan sederhana ini dibuat dalam rangka usaha membaca kenyataan demokrasi Indonesia dari sudut pandang pemikiran Jürgen Habermas. Tanpa bertujuan mendiskreditkan atau bersikap pesimistis secara berlebihan terhadap usaha-usaha yang telah dilakukan oleh pemerintah yang sedang memimpin, tulisan ini hanya mencoba mengupas beberapa persoalan yang menghambat langkah maju demokrasi Indonesia. Dengan melihat hambatan-hambatan tersebut dan bagaimana sumbangan pemikiran Habermas terhadapnya, tulisan kecil ini kiranya menjadi berguna untuk menjadi bahan pembanding yang dapat memperkokoh perjuangan menuju demokrasi yang dicita-citakan. Dalam segala keterbatasan kami berusaha untuk menangkap apa kiranya yang menjadi sumbangan nyata terhadap perjalanan demokrasi Indonesia dari pergumulan kami tentangpemikiran Habermas. Pemikiran Habermas meskipun sangat komprehensif, tentunya tetap terikat pada latar belakang di mana ia tinggal dengan segala pengalaman yang menyertainya. Ia adalah seorang penyumbang pemikiran politik dan demokrasi di dunia barat. Bagaimana sumbangan pemikirannya itu juga menjadi berguna dan dapat diaplikasikan dalam praktik demokrasi Indonesia, itulah yang menjadi harapan dalam pembuatan tulisan ini. Indonesia sebagai suatu negara yang sangat plural di tengah modernisasi segala bidang kehidupan saat ini, sangat membutuhkan suatu tali pengikat yang lebih erat. Kesaktian Pancasila dan UUD 1945 semakin tergerus oleh munculnya semakin banyak keanekragaman dalam tubuh bangsa Indonesia yang tidak lagi sesederhana saat kemerdekaan beberapa tahun silam. Justru persoalan kemajemukan yang disebabkan oleh modernisasi inilah yang menjadi salah satu topik penting yang dibicarakan oleh Habermas. Sumbangan pemikiran filsafat politik Jürgen Habermas sangat berguna dan patut diperhitungkan dalam dunia perpolitikan dan demokrasi yang sedang berjalan di negara ini.
Urutan pemikiran dalam tulisan ini kira-kira dapat dirumuskan: pertama-tama akan dilihat secara singkat bagaiamana perjalan demokrasi itu dalam sejarah sampai pada sistem demokrasi pada masa transisi saat ini. Ada kelemahan dan kelebihan dari setiap tahap yang dilalui. Lalu bagaimana kemudian kita melihat praktik demokrasi saat ini dalam beberapa fakta atau kasus-kasus yang marak diberitakan akhir-akhir ini. Kita  tidak akan menganalisis setiap fakta ini secara mendetail, tetapi hanya menggunakannya sebagai bukti bagaimana kelemahan salah satu elemen demokrasi di Indonesia saat ini. Elemen yang dimaksud di sini adalah legitimitas hukum yang kemudian akan dilihat dalam konteks proseduralisme hukum Habermas. Berkaitan dengan pemikiran Habermas, kami hanya mengangkat tema proseduralisme hukum Habermas dan sedikit latar belakang yang melahirkan pemikirannya ini.   

Perkembangan Demokrasi Indonesia
Beberapa dekade talah berlalu sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mempraktikan demokrasi dalam berbagai variasinya. Sejak zaman kemerdekaan hingga saat ini Indonesia telah mempraktikkan setidaknya empat bentuk demokrasi. Ada demokrasi liberal pada masa kemerdekaan, demokrasi terpimpin sejak Soekarno membubarkan dewan konstituante, demokrasi pancasila pada masa orde baru, dan saat ini demokrasi dalam masa transisi. Pada setiap tahap tersebut ada berbagai kegagalan dan kemajuan yang menjadi nilai lebih dan kurangnya masing-masig.[3] Pada masa orde baru misalnya, penerapan sistem demokrasi pancasila mampu meningkatkan stabilitas ekonomi dan keamanan. Tingkat pertumbuhan ekonomi Indonsia menjadi sangat tinggi, hal ini ditandai dengan beberapa fakta, seperti: ketahanan pangan yang baik, pembangunan infrastruktur yang lancar dan teratur, nilai tukar rupiah yang kuat terhadap dolar, dan harga barang-barang yang relatif terjangkau. Stabilitas keamanan juga boleh dikatakan sangat terjamin. Sangat jarang terdapat berita tentang tindakan-tindakan anarkis atau kekacauan yang dilakukan terhadap negara  baik pada tingkat daerah maupun nasional.  Tetapi, di sisi lain ternyata bahwa di balik kemajuan stabilitas ekonomi dan keamanan orde baru masih terdapat begitu banyak kekurangan yang sangat merugikan dan menghambat  pertumbuhan bangsa Indonesia. Hal ini nyata dalam tingginya tingkat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) yang dikaukan oleh pihak penguasa negara. Selain itu juga kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat, terutama pendapat yang “mengancam stabilitas negra”, sangat dibatasi. Kebobrokan ini berujung pada tumbangnya kepemimpinan Suharto pada Mei 1998.
Pasca keruntuhan rezim Suharto, Indonesia memasuki era reformasi. Sistem demokrasi diperbaharui dengan tujuan sehingga menjadi lebih baik. Banyak pihak berharap setelah runtuhnya rezim otoriter Suharto, kebebasan berpendapat semakin mendapat ruang yang luas dan tingkat KKN menjadi semakin berkurang sambil tetap mempertahankan kemajuan-kemajuan dan prestasi yang telah dicapai sebelumnya. Tetapi apa yang terjadi? Praktik demokrasi saat ini ternyata juga masih sama dengan tahap-tahap demokrasi sebelumnya. Masih tetap terdapat nilai lebih dan kurangnya, ada kemajuan/kelebihan dan kemunduran/kekurangan. Kemajuan-kemajuan yang perlu dicatat adalah semakin terbukanya kebebasan berpikir dan berpendapat yang telah lama dikekang selama pemerintahan orde baru, sistem pemilihan umum yang terus diperbaharui, dan penanggulangan masalah korupsi dengan didirikannya lembaga khusus yang menangani kebusukan demokrasi ini. Sayangnya, bahwa ternyata kemajuan atau keberhasilan ini tidak serta merta membawa Indonesia kepada sistem demokrasi yang makin sempurna.

Fakta Hukum di Tengah Demokrasi Transisi Indonesia
Luthfi Assyaukanie, Deputi Direktur Freedom Institute, dalam  presentasinya pada konferensi tentang demokrasi di Asia, yang diselenggarakan oleh CALD (Council of Asian Liberals and Democrats) pada 28-29 November 2011, mengemukakan bahwa ada dua tantangan yang dihadapi demokrasi di Indonesia. Ada tantangan yang berasal dari negara berupa praktik korupsi yang terjadi dalam lembaga-lembaga negara dan ancaman terhadap kebebasan pers. Tantangan lain juga berasal dari masyarakat, yaitu berupa sikap antagonis dari kelmpok-kelompok keagamaan yang kurang toleran terhadap keragaman.[4] Apa yang dikatakan di atas tentunya didukung oleh fakta-fakta kasus pencoreng demokrasi yang merebak pada akhir ini. Pelaku kasus-kasus ini hampir sebagian besar dilakukan oleh para aparatur negara yang sebelumnya secara prosedur demokratis telah dipilih oleh rakyat. Sebut saja misalnya kasus penyalahgunaan program studi banding beberapa anggota DPR ke luar negeri sebagai momen berwisata ria, dan masih banyak kasus-kasus lainnya. Di samping itu juga kita menyaksikan bagaimana para aparatur negara menyalahgunakan kedudukannya dengan melakukan tindak pidana korupsi. Sebut saja kasus Century, Gayus Tambunan, dan yang paling menghebohkan hingga berurusan dengan negara lain adalah Nazarudin (mantan bendahara partai demokrat).Belum lagi tantangan dari pihak-pihak ekstrimis agama, seperti: sikap antagonis yang diperlihatkan lembaga Islam seperti MUI terhadap kelompok-kelompok minoritas, seperti Ahmadiyah yang mendorong aksi-aksi kekerasan.Fatwa-fatwa intoleran yang dikeluarkan MUI telah mendorong terjadinya kekerasan terhadap kelompok-kelompok minoritas keagamaan, khususnya Ahmadiyah. Begitu juga, kelompok-kelompok radikal seperti Front Pembela Islam (FPI) merupakan ancaman bagi kebebasan di tengah masyarakat. Tindakan-tindakan FPI yang mengancam kelompok atau orang yang mereka anggap berseberangan telah membuat kesesatan. Penyerangan yang mereka lakukan terhadap anggota aliansi umat beragama (AKKBB) di Monas yang  merupakan ancaman besar yang datang dari sesama masyarakat.
Berita-berita tentang kasus-kasus di atas sering kali menghiasi headline media massa. Tetapi anehnya bahwa apa yang diberitakan hanyalah pada saat-saat awal peristiwa itu terjadi. Bagaimana selanjutnya apalagi penyelesaian akhirnya tidak jelas. Ketidakjelasan ini bukan salah media yang tidak memberitakannya, tetapi memang karena kasus-kasus ini sangat lamban ditangani. Kasus yang satu belum tuntas datang lagi kasus-kasus berikutnya, susul-menyusul melumuri wajah demokrasi. Lebih parah lagi ketika kasus-kasus tersebut bertumpuk, menjadi tidak tidak jelas lagi siapa yang akan menghakimi siapa. Tidak jarang pihak yang menghakimi menjadi yang dihakimi, sehinga masalah menjadi makin panjang dan tidak ada solusi yang jelas. “Benar apa yang pernah dikatakan oleh Megawati ketika ia menjabat sebagai presiden, bahwa ia mewarisi “birokrasi tong sampah”. Setelah beberapa tahun demokrasi berjalan KKN semakin merebak dan mewabah sampai kepada pejuang reformasi itu sendiri. Para politisi yang begitu gigih memperjungkan keadilan kemudian berubah menjadi permisif. Dalam upaya menangani kasus korupsi, yang terjadi adalah situasi saling blokade atau saling mengancam antara mereka yang menindak dan ditindak karena sama-sama mempunyai kasus korupsi.”[5]
            Dari fakta-fakta di atas terlihat bahwa hukum di Indonesia sangat lemah. Kelemahan hukum di sini merupakan sebuah konsekuensi dari dirongrongnya positivisme hukum itu sendiri oleh berbagai kepentingan. Kepentingan-kepentingan itu antara lain adalah kepentingan partai-partai yang belum bisa dinetralisir dalam dewan legislatif.  Proses netralisasi kepentingan partai-partai dalam dewan legislatif inilah yang menjadi hambatan legitimitas hukum Indonesia. Persoalan dalam legitimitas hukum ini akhirnya pula berlanjut menjadi tantangan demokrasi di Indonesia. Ketika hukum/perundang-undangan sebagai salah satu elemen demokrasi yang dihasilkan oleh dewan legislator mengandung berbagai macam muatan kepentingan kelompok tertentu, maka rusak pulalah tatanan demokrasi itu sendiri. Prinsip demokrasi sebagai pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat akhirnya bergeser menjadi demokrasi dari partai, oleh partai, dan untuk partai. Yang pertama-tama diutamakan adalah segala kepentingan kelanggengan partai itu sendiri.

Proseduralisme Hukum Menurut Habermas
            Fakta-fakta penghambat demokrasi seperti yang telah dikemukakan di atas memperlihatkan bahwa             politik yang  sedang dipraktikkan di Indonesia adalah politik persaingan. Ketika masing-masing partai berjuang untuk menyusupkan kepentingannya ke dalam kebijakan atau hukum yang mereka hasilkan, maka peserta diskursus dari partai lain akan lebih dipandang sebagai pesaing daripada rekan diskursus.Sindhunata merumuskannya demikian: “Politik di zaman moderen, kata Habermas, akan macet total, jika para pelakunya berpandangan sempit, dan sama sekali tidak bisa melihat dari susut pandang orang lain. Baginya, politik bukan pertama-tama memperebutkan kekuasaan, melainkan berkomunikasi dan berwacana.”[6] Dasar pemikiran Habermas ini adalah rasio komunikatif. Dalam Theories des komuniktiven Handlens ia meyakini bahwa interaksi dalam sebuah masyarakat pada dasarnya bersifat rasional. Para aktor berorientasi pada kesalingpahaman atau mengarah kepada konsensus atau pencapaian kesepakatan.[7]  Politik dalam pandangan Habermas dengan demikian tidak berbeda dari tindakan komunikasi sehari-hari. Sama seperti komunikasi sehari-hari di mana setiap pelakunya mengarahkan diri pada kesalingpahaman dan berpegang pada klaim-klaim seperti kejujuran, keterbukaan, dan pengambilan persepsi rekan komunikasi; demikian pula dalam diskursus politik.
     Kunci pemikiran Habermas adalah distingsinya atas dunia kehidupan dan sistem. Dunia kehidupan diandaikan sebagai sebuah alam bermakna yang dimiliki bersama oleh suatu komunitas. Di sana mereka memiliki pandangan, keyakinan, dan nilai bersama. Rasionalitas dalam dunia kehidupan ini adalah rasionalitas komunikatif. Sedangkan sistem merupakan segala macam institusi dan peraturan yang menata kehidupan masyakat. Tujuan sebuah sistem adalah meringankan beban komunikasi. Namun kenyataan yang terjadi saat ini adalah sebuah patologi akibat modernisasi. Dunia kehidupan semakin dirasionalisasi dan berakibat pada bertambahnya kompleksitas dan diferensiasi sistem. Kenyataan ini tampak dalam kekhasan modernitas, yaitu terbentuknya dua subsistem (subsistem ekonomi pasar/uang dan subsistem kekuasaan administratif/negara birokratis) yang semakin mengkolonisasi dunia kehidupan.  Rasionalitas komunikatif dalam dunia kehidupan bergeser menjadi rasionalitas sasaran.
Menurut Habermas, dalam masyarakat majemuk dewasa ini profanisasi dan pluralisasi semakin meningkat. Orang lebih berinteraksi berdasarkan self-interests dan kerap mengabaikan public interests sehingga orang berada dalam hubungan-hubungan strategis untuk meraih suksesnya sendiri.Ia menemukan solusi dalam konsep hukum. Di sini Habermas menekankan intersubjektivitas, bahkan di dalam interaksi strategis. Bahwa para aktor akan berupaya untuk mencapai konsensus tentang aturan-aturan yang membatasi tindakan-tindakan strategis mereka. Aturan-aturan tersebut adalah norma hukum. Hukum di sini berperan sebagai jembatan antara tindakan komunikatif dan tindakan strategis. Hukum merupakan ruang operasi dari tindakan strategis, tetapi hukum juga merupakan hasil konsensus yang hanya bisa dicapai jika para aktor strategis meninggalkan orientasi suksesnya sendiri dan saling berkomunikasi untuk mencapai pemahaman timbal balik.
Hukum juga berciri ganda. Maksudnya, hukum di suatu pihak memiliki ciri objektif sebuah fakta keras yang dapat memaksa targetnya untuk mematuhi aturan ini (ada kemungkinan juga untuk dilanggar), namun di lain pihak hukum juga mempunyai ciri intersubjektif sebuah proses komunikasi yang dapat dikembalikan kepada pemahaman timbal-balik para targetnya (hukum merupakan hasil diskursus praktis). Hukum memperoleh kesahihannya jika kedua ciri itu dijamin secara serentak . Di satu pihak kita bertindak strategis karena memperhitungkan akibat dari pelanggaran-pelanggaran, dan di lain pihak kita mematuhi norma sebagai sesuatu yang sahih karena hormat kepada undang-undang. Norma-norma hukum membentuk tatan masyarakat, yaitu institusi-institusi hukum. Hukum yang ditandai rasionalitas yang lebih tingi menggantikan intitusi-institusi tradisional yang tumbuh secara alami. Bahasa hukum dapat dimengerti baik oleh ekonomi yang dikendalikan uang maupun oleh administrasi yang dikendalikan kekuasaan. Hukum merupakan poros, “transformator”, atau “engsel” antara sistem dan Lebenswelt. Hukum moderen dapat mendorong pertukaran antara sistem dan Lebenswelt. Hukum sekaligus berfungsi sebagai “sarana organisasi kekuasaan politis” dan sebgai stablisasi ekspektasi perilaku dengan menjamin relasi-relasi simetris para subjeknya. Hukum menjadi the last safety belt bagi m`syarakat jika tidak ditemukan solusi-solusi moral untuk menjaga integrasi sosial. Habermas menetapkan hukum sebagai “medium emansipasi dan reproduksi-diri Lebenswelt, sebagai unsur penting integrasi sosial masyarakat-masyarakat kompleks.
Pertanyaan peting berkaitan dengan legitimits hukum adalah: Bagaimana norma-norma hukum dapat dipatuhi atas dasar rasa hormat terhadap undang-undang sedemikian rupa sehingga norma-norma hukum itu menjadi efektif untuk koordinasi sosial? Jawabannya ditemukan dalam teori proseduralistis tentang legitimasi. Kesahihan atau legitimitas hukum berasal dari penerimaan intersubjektif para targetnya. Hal ini memberinya daya ikat, tetapi juga hukum harus menjamin kebebasan-kebebasan yang sama bagi setiap orang. Hal ini hanya dapat dipenuhi jika hukum dihasilkan dalam proses legislasi atau penyusunan undang-undang (diskursus praktis) atau jika diterjemahkan dari bahasa Jerman politische Meinungs-und Willensbildung menjadi “formasi opini dan aspirasi politis”. 
Seperti dalam diskursus praktis umumnya, mereka yang berpartisipasi dalam formasi opini dan aspirasi secara demokratis senantiasa diminta untuk mengambil perspektif yang berorientasi pada konsenus intersubjektif. Para partisipan diminta untukmeninggalkan kepentingan diri mereka demi tercapainya suatu konsensus yang memuaskan semua pihak (mencapai suatu kesalingpengertian). Dalam konteks politis,orang-orang privat hendknya bertindak sebagai warga negara (Statsbürger) dan tidak lagi dikungkung tembok-tembok kelompok partikular atau kepentingan privat mereka. Habermas menganggap formasi opini dan aspirasi secara demokratis sebagai sumber legimasi hukum dalam masyarakat-masyarakat yang kompleks, karena hanya dari proses demokrasi itulah dihasilkan hukum yang legitim. Apa yang mendasari legitimasi ini ialah ide penentuan diri dan otonomi. Ia menegaskan bahwa para partisipan hukum harus boleh mengadaikan bahwa dalam formasi opini dan aspirasi secara bebas mereka boleh mengesahkan sendiri peraturan-peraturan yang lalu akan mengikat mereka sebagai target peraturan-peraturan tersebut.[8]

Sumbangan Habermas: Solusi atas Tantangan Demokrasi Indonesia
            Seperti telah dikemukakan sebelumnya bahwa negara Indonesia adah sebuah negara yang berdiri atas unsur-unsur kemajemukan. Seiring kemajuan zaman, kemajemukan itu semakin bertambah bentuk maupun variasinya. Hampir semua pelosok daerah-daerah di Indonesia telah memiliki akses terhadap daerah lainnya, meskipun dalam taraf yang belum seragam. Tidak ada suatu daerahpun yang masih dapat dikatakan sebagai daerah yang belum dimasuki atau belum tercampur pengaruh daerah lain. Sebagai konsekuensinya pemikiran masyarakat semakin berkembang, sistem-sistem nilai dan norma yang telah lama dipegang bersama menjadi semakin berkurang makna dan daya ikatnya. Masyarakat semakin kritis dan terbuka terhadap perkembangan dan pengaruh dari sistem-sistem nilai dan norma dari daerah lain. Perbedaan kepentingan dan opini pun menjadi semakin tajam. Perkembangan ini tidak hanya terjadi dalam skala kecil kedaerahan, tetapi juga berlaku secara nasional. Indonesia bukan lagi sebuah negara kecil yang masih menganut romantisme sistem kekeluargaan dalam demokrasinya. Habermas dalam wawancara dengan F. Budi Hardiman mengatakannya kurang lebih demikian: “Masyarakat moderen sama sekali tidak hanya sesuai dengan model masyarakat pasar yang di dalamnya individu-individu yang terpisah-pisah dan bertindak strategis, saling mengamati satu sama lain secara skeptis. Di lain pihak masyarakat moderen terlalu beranekaragam dan terlalu pluralistis sehingga tidak dapat begitu saja dimasukkan ke dalam tradisi dan nilai-nilai bersama. Untuk itu konsensus harus dihasilkan melalui tindakan komunikatif yang sadar diri. Praksis komunikatif ini merupakan inti dunia kehidupan moderen (moderne Lebenswelte).”[9]
            Persoalan yang kami angkat dalam poin tentang fakta hukum di tengah demokrasi transisi di atas adalah tentang lemahnya hukum Indonesia pasca-orde baru. Pada masa orde baru masyarakat Indonesia seolah-olah hanya memiliki sistem nilai dan orientasi yang tunggal. Namun, setelah lepas dari genggaman tangan besi ini masyarakat Indonesi seolah mengalami sebuah kejutan. Ketika kebebasan semakin dijunjung tinggi, kompleksitas kepentingan, orientasi nilai dan tindakan juga semakin meningkat. Akibat nyata dari kompleksitas kepentingan dan orientaasi nilai ini adalah kebobrokan seperti korupsi dan fanatisme agamayang merajalela dan bertumbuh sangat subur di tengah perjuangan demokrasi Indonesia. Hukum menjadi lemah karena penegak hukum itu sendiri juga banyak yang terlibat dalam kebobrokan. Ketika kebobrokan itu tidak mau dibongkar, maka dimulailah usaha-usaha untuk menyusupkan kepentingan-kepentingan ini ke dalam proses pembuatan undang-undang. Partai politik ditunggangi kepentingan kelanggengan kekuasaan dan mencari untung. Ia tidak lagi menjadi sarana akomodasi suara-suara rakyat, tetapi sarana persaingan memperebutkan pengaruh dan kekuasaan. Undang-undang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga terjadilah diskriminasi terhadap kepentingan pihak lain yang tidak terlibat dalam proses tersebut.Tercorengnya hukum karena telah disusupi oleh berbagai macam kepentingan pribadi membuat daya ikat hukum di tengah masyarakat moderen semakin lemah. Ketika hukum lemah bahaya disintegrasi semakin meningkat yang akhirnya merusak sistem demokrasi Indonesia. Seperti diungkapkanDonny Gahral Adian mengutip Thrasymachus: “Masing-maing kelompok berlomba-lomba menancapkan dominasinya melalui hukum. Hukum menjadi ajang pertarungan kekuatan. Hukum tak lain merupakan perwujudan kehendak kelompok yang kuat. Akar dari semua iniadalah universalisme semu. Dalam konteks masyarakat demokratis, doktrin moral tertentu serta-merta mengklaim universalitas tanpa melibatkan prosedur diskursif yang sehat.”[10]Apa sumbangan Habermas menghadapi kenyataan ini?
            Filsafat politik Habermas merupakan sebuah upaya menjawabi tantangan demokrasi moderen dengan memasukkan teori komunikasi ke dalam ranah politik demokrasi. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa masyarakat dan negara sebenarnya terbentuk dari komunikasi. Oleh karena itu, komunikasi jugalah yang menentukan integrasi suatu masyarakat kompleks. Elemen komunikatif yang dapat menyatukan dalam masyarakat kompleks tersebut adalah hukum (dalam konteks teori komunikasi). Ciri ganda hukum yang di satu pihak membuka ruang bagi tindakan-tindakan startegis (rasionalitas sasaran), sehingga hukum dapat dipakai sebagai alat paksa; dan di lain pihak hukum harus dihasilkan dari konsensus rasional (harus legitim). Bahasa hukum di satu pihak berasal dari bahasa sehari-hari yang menjadi sumber solidaritas. Di lain pihak bahasa hukum berasal dari tingkat linguistik yang tinggi. Ia menghubungkan sistem dan Lebenswelt. Hukum menjadi sabuk pengaman terakhir bagi integrasi sebuah masyarakat.[11] Kenyataan yang terjadi di Indoneia adalah ciri ganda hukum ini yang belum bisa  dipraktikkan secara maksimal. Hukum diinstrumentalisasi oleh kepentingan-kepentingan kelompok tertentu. Bagaimana menghasilkan hukum yang legitim di tengah kenyataan seperti ini?Tidak lain adalah dengan mengoptimalkan diskursus politis yang berpegang pada klaim-klaim kesahihan sebuah komunikasi (jelas, benar, jujur, dan betul). “Sebuah diskursus dimana para partisipan berusaha mengambilalih perspektif partner komunikasinya. Dalam negara hukum demokratis diskursus itu dilakukan dalam wadah ruang publik. Dalam ruang publik ini demokrasi menjadi deliberatif (deliberasi: konsultasi, menimbang-nimbang, musyawarah). Artinya bahwa intensitas partisipasi warga negara dalam pembentukan aspirasi dan opini semakin ditingkatkan sehingga pembetukan kebijakan atau undang-undang yang dilakukan oleh pemerintah semakin mendekati harapan warga negara. Kebijakan yang dihasilkan dengan demikian, tidak lagi menjadi kehendak perseorangan ataupun kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, tetapi sebuah proses yang selalu terbuka kepada revisi bersama. Sumber legitimasi bukanlah opini mayoritas, melainkan terletak pada cara pencapaiannya yang fair dan adil.Dengan proses ini kepentingan-kepentingan elit dan non-elit dipertemukan.”[12]Kenyataan yang terjadi di Indonesia adalah demokrasi perwakilan yang juga mengutamakan suara mayoritas. Lebih parah lagi perwakilan tersebut diraih melalui sebuah persaingan yang tidak jarang menggunakan cara-cara yang tidak fair. Suara mayoritas dalam pengambilan sebuah kebijakan lebih sebagai suara kesamaan kepentingan dari pada sebagai suara-suara yang terwakili. Dengan demikian, teori demokrasi deliberatif Habermas menjadi sebuah kritik atas praktik demokrasi Indonesia. Sekaligus juga sebagai sebuah pendorong yang mengarahkan setiap pelaku demokrasi Indonesia untuk mengevaluasi diri dan praktik demokrasi yang sedang terjadi di Indonesia.

Sebuah Simpulan
            Demokrasi Indonesia, sebagai suatu demokrasi transisi adalah sebuah proses panjang yang belum selesai. Demokrasi yang telah diwariskan oleh para pendiri negara ini nyata-nyata bukanlah suatu sistem yang asli Indonesia. Demokrasi belum menjadi budaya Indonesia. Apa yang diidealkan dalam demokrasi belum bisa serta-merta dipraktikkan secara konsisten. Para pelaku demokrasi Indonesia tampaknya belum menyatu atau memang tidak mau menyatu dengan cita-cita luhur demokrasi itu sendiri. Apa yang perlu dilakukan tidak lain adalah sebuah proses pembudayaan demokrasi. Ketika sebuah demokrasi telah berjalan optimal, segala hambatan yang merintanginya dengan sendirinya akan terelakkan. Karena sesungguhnya hambatan demokrasi di Indonesia kebanyakan berasal dari dalam tubuh bangsa Indonesia sendiri. Sumbangan pemikiran Habermas sangat relevan untuk kehidupan demokrasi Indonesia yang terseok-seok. Apa yang disebut Habermas sebagai rasionalitas komunikatif (legitimias hukum yang lahir dari sebuah diskursus politis) sebenarnya telah terdapat dan bahkan telah menjadi kebudayaan kita. Bukan hanya dalam kearifan-kearifan kedaerahan, musyawara untuk mufakat juga telah tertuang dalam sila pancasila sebagai dasar negara Indonesia. Pemikiran Habermas menjadi sangat berguna dan menjanjikan hasil demokrasi yang ideal jika semua pihak, khususnya mereka yang berkecimpung langsung dalam dunia politik, mau terbuka untuk belajar dan berubah. Akhirnya, demokrasi sesungguhnya bukanlah sebuah tujuan, demokrasi hanya sebuah sarana yang dibuat untuk tujuan kebaikan suatu bangsa. Ketika penerapan dan pembelajaran demokrasi itu diselewangkan oleh berbagai kepentingan egois, saat itu pula demokrasi menjadi kehilangan maknanya. Sumbangan Habermas merupakan bekal yang sangat berarti bagi bangsa Indonesia dalam proses belajar berdemokrasi menuju demokrasi yang ideal.

  
DAFTAR PUSTAKA

Adian, Donny Gahral. Demokrasi Kami.  Depok: Koekoesan. 2006.
Hardiman, F. Budi. Demokrasi Deliberatif. Yogyakarta: Kanisius. 2009.
Suseno, Frans Magnis. Mencari Sosok Demokrasi, Sebuah Telaah Filosofis. PT. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. 1995.
Basis Nomor 1-12. Tahun ke-53. November-Desember 2004.

Sumber-sumber Interet:
-   Irwan Prayitno, Perkembangan Demokrasi di Indonesia, Cabaran dan Pengharapan, http://pas.org.my/kertaskerja/Perkembangan_Demokrasi_di_Indonesia_Cabaran_dan_Pengharapan.pdf.
-   TantanganDemokrasi Indonesia, 2 Desember 2009,http://fnsindonesia.org/v2/publication.php?id=7855&start1=25&start2=15
-   Moh. Mahfud MD, Pengadilan dan Demokrasi. http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pengadilan.pdf.





[1]Bdk. FransMagnis-Suseno, MencariSosokDemokrasi, SebuahTelaahFilosofis, PT. GramediaPustakaUtama: Jakarta, 1995, hlm. 8-9.
[2]Donny GahralAdian, Demokrasi Kami, Depok: Koekoesan, 2006, hlm. 92.
[3]Bdk. IrwanPrayitno, PerkembanganDemokrasi di Indonesia, CabarandanPengharapan, http://pas.org.my/kertaskerja/Perkembangan_Demokrasi_di_Indonesia_Cabaran_dan_Pengharapan.pdf,diakses:  Sabtu, 3 Desember 2011, pkl. 17.44.
[4]TantanganDemokrasi Indonesia, 2 Desember 2009,http://fnsindonesia.org/v2/publication.php?id=7855&start1=25&start2=15, diakses: Sabtu, 3 Desember2011, pkl.17.53.
[5]Bdk. Moh.Mahfud MD, PengadilandanDemokrasi, Disampaikandalam Dinner Lecture yang diselenggarakanolehKomite Indonesia untukDemokrasi (KID), Surabaya, Rabu 21 November 2007, http://www.komunitasdemokrasi.or.id/article/pengadilan.pdf, diakses: 5 Desember 2011, pkl.08.28.

[6]Sindhunata, “PolitikKekanak-kanakan” dalamBasis Nomor 1-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 3.
[7] F. Budi Hardiman, DemokrasiDeliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 34.
[8]Bdk. Ibid., hlm. 59-67.
[9] F. Budi Hardiman, “DemokrasiDeliberatif: Model untuk Indonesia Pasca-Soeharto?”,dalam Basis Nomor 1-12, Tahun ke-53, November-Desember 2004, hlm. 15.

[10]Donny GahralAdian, Demokrasi Kami, Depok: Koekoesan, 2006, hlm. 108.
[11]Bdk. Budi Hardiman, DemokrasiDeliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, hlm. 61-63.
[12]Bdk. Hardiman, op. cit.,hlm. 18-19.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cerita Dongeng Manggarai Timur, Mbo' Ete

MBO’ ETE             Teringat sepotong dongeng (tombo nengon) masa kecil yang sangat menarik tentang Mbo’ Ete (Nenek Ete) . Terjemahan dalam bahasa Indonesianya kira-kira seperti berikut: “Pada zaman dahulu hiduplah seorang nenek bernama Ete (Mbo’ Ete). Ia hidup sendirian dan hanya ditemani dua ekor anjing [1] kesayangannya. Pada suatu hari ia mendapat undangan dari Mbunga dan Ndilan untuk mengikuti acara ‘rebo’ anak’ mereka (pemberian nama seorang anak) yang juga merupakan cucunya. Mbunga dan Ndilan tinggal di langit. Konon, kala itu jarak antara langit dan bumi masih sangat dekat. Buktinya sampai sekarang ‘betong’ (pohon bambu) melengkungkan pucuknya ke bawah karena tidak bisa lagi bertumbuh ke atas. ‘Doong le langit’ (pertumbuhannya tertahan oleh langit). Langit dan bumi hanya dihubungkan oleh ‘wase azo’’ (sejenis pohon bertali di hutan). Sampai pada hari yang ditentukan, pergilah Mbo’ Ete ke lagit ditemani kedua ekor ...

MAWAR DAN ROSARIO

MAWAR MERAH dan ROSARIO 1.    Pengantar Dalam riwayat hidup St. Montfort kita mengetahui bahwa sejak usia kanak-kanaknya ia sangat mencintai doa rosario. Dalam salah satu kisah, diceritakan bahwa ia menjadi rasul Bunda Maria bagi saudara-saudari dan teman-teman sepermainannya. Ia sering mengajar dan mengajak mereka berdoa rosario. Seorang adiknya yang bernama Guyonne-Jeanne pernah merasa bosan berdoa rosario bersamanya, saat itulah ia berkata kepada adiknya: “Kalau kamu berdoa rosario kamu akan menjadi cantik sekali.” Dari kisah ini kita dapat melihat dengan jelas keintiman relasi Montfort dengan Rosario. Dalam buku Rahasia Rosario St. Montfort mengulas banyak hal tentang Rosario. Dalam penjelasan-penjelasan yang disampaikan Montfort, ia menjelaskan Rosario dengan analogi bunga mawar. Tulisan kecil ini mencoba mendalami bagaimana penjelasan St. Montfort dalam judul Mawar Merah. Kita akan mulai dengan melihat sesuatu di luar teks tentang bunga mawar dalam sejarah. L...

Makna ikon dalam Gereja Katolik

KEAGUNGAN TUHAN DALAM IKON Pengantar             Manusia adalah makhluk berbudaya. Manusia mengekspresikan dirinya melalui kebudayaan yang ia miliki. Demikian pula halnya dalam pengungkapan imannya. Manusia mengungkapkan imannya juga dalam kebudayaannya. Iman pertama-tama memang berkaitan dengan hubungan antara manusia dan Tuhan. Tetapi manusia hidup bersama orang lain di tengah masyarakat. Hidup sosialnya turut menentukan hidup imannya. “Allah menyelamatkan orang-orang bukannya satu per satu, tanpa hubungan satu dengan lainnya”(LG 9). [1] Boleh dikatakan bahwa manusia menjawab wahyu Tuhan dengan sosialitasnya, dengan kebudayaannya, dan dengan kemampuannya. Salah satu produk kebudayaan manusia adalah seni. Manusia mengekspresikan imannya melalui kesenian yang diciptakannya. Gereja katolik tidak bisa terpisahkan dari seni. Hal itu tampak dalam bangunan (seni lukis, seni pahat, dan seni ukirnya), lagu-lagu atau musik ger...