MENTARI 7 Pagi
Aku terpaku tegak melekat pada salah satu kokoh tiang di ruang makan itu. Dari celah jeruji jendela sebelah timur sinar binar mentari tujuh pagi mereyap hangat, memendar di atas putih pigura. Aku tidak terpikat sinar itu. Dia menyilaukan lembab dan redup pagiku.
Satu persatu tubuh-tubuh kokoh melangkah masuk. Kaku, membisu, dingin tanpa ekspresi. Masing-masing menempati posisi di belakan kursi trsusun rapi. Ada yang tertunduk beku mentap meja bersusun menu sarapan pagi. Mengapa tak mau duduk? Rupanya kursi-kursi itu belum penuh bertuan. Kita masih harus menunggu, hingga kursi terduduk penuh.
Sesosok tua berkaca mata bening menyusup masuk menempati kursi di ujung ruangan. Dia berputih uban, bersimbah kerut-keriput lemak. Sorot matanya memancarkan kebijaksanaan usang. Semua patuh padanya.
Aku masih saja paku melekat pada tiang tembok ruangan itu. Mengapa lama sekali?
“In Nomine Patris, et Filii, et Spiritus Sancti............ Amen!!!!!” Baris-baris puisi magis itu cukup lantang juga pada pinggir keluh lidah-lidah sang tubuh. Buat apa orang-orang ini? Mengingkari? Entah! Apa yang mereka cari? Mereka begitu sepi di dunia anti-sunyi ini. Murni? Apakah lagi yang masih murni di dunia ini? Coba lihat gerak-denyut aliran darah pada nadi-nadi lusuh itu. Mengalir debu-debu nafsu. Hirup saja desah-desis nafas itu. Ada busuk tertutup harum parfum status kaul. “SUDAH!!!”
Kasihan setan-setan itu. Malu tertunduk pada ketuk palu para pengecut. Benarkah!? Fitnah!! Mereka itu tong-tong sampah ciptaan manusia. Mereka ilusi demi pembenaran diri. Sadis!!!
Dan tubuh-tubuh itu? Mereka tak bertunduk malu. Hanya anggukan angkuh berbalut status palsu!!!
Aku terpaku tegak melekat pada salah satu kokoh tiang di ruang makan itu. Dari celah jeruji jendela sebelah timur sinar binar mentari tujuh pagi mereyap hangat, memendar di atas putih pigura. Aku tidak terpikat sinar itu. Dia menyilaukan lembab dan redup pagiku.
Satu persatu tubuh-tubuh kokoh melangkah masuk. Kaku, membisu, dingin tanpa ekspresi. Masing-masing menempati posisi di belakan kursi trsusun rapi. Ada yang tertunduk beku mentap meja bersusun menu sarapan pagi. Mengapa tak mau duduk? Rupanya kursi-kursi itu belum penuh bertuan. Kita masih harus menunggu, hingga kursi terduduk penuh.
Sesosok tua berkaca mata bening menyusup masuk menempati kursi di ujung ruangan. Dia berputih uban, bersimbah kerut-keriput lemak. Sorot matanya memancarkan kebijaksanaan usang. Semua patuh padanya.
Aku masih saja paku melekat pada tiang tembok ruangan itu. Mengapa lama sekali?
Kasihan setan-setan itu. Malu tertunduk pada ketuk palu para pengecut. Benarkah!? Fitnah!! Mereka itu tong-tong sampah ciptaan manusia. Mereka ilusi demi pembenaran diri. Sadis!!!
Dan tubuh-tubuh itu? Mereka tak bertunduk malu. Hanya anggukan angkuh berbalut status palsu!!!
Komentar
Posting Komentar